ekonomi kerakyatan

EKONOMI KERAKYATAN DAN ETOS EKONOMI SEBAGAI BASIS KEKUATAN NASIONAL

A. Membangun sistem ekonomi kerakyatan
Sering kali kita mendengar dalam pembicaraan atau kita sendiri sering mengatakan “sebagai suatu sistem...” dalam membahas atau membicarakan suatu masalah. Apakah yang dimaksud dengan sistem ? sistem merupakan suatu konsep yang menunjukkan suatu himpunan dari berbagai komponen atau sebagai susunan yang teratur. Suatu sistem muncul karena adanya usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak akan ada batasnya dan sangat bervariasi, oleh karena itu dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya selalu akan menimbulkan berbagai sistem kegiatan dalam kehidupan manusia, misalnya kenutuhan manusia untuk berhubungan dengan orang lain akan menimbulkan sistem sosial, usaha untuk memenuhi kebutuhan primer hidupnya akan memunculkan sistem ekonomi, dan sebagainya. Sistem-sistem tersebut akan berjalan sesuai dengan irama kehidupan dan berlandaskan tata nilai yang dianut oleh masyarakat itu, apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh untuk dilakukan.
Suatu sistem mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Mempunyai tujuan yang akan di capai.
b. Mempunyai batas yang memisahkan dari lingkungannya, misalnya kelas merupakan suatu sistem dimana didalamnya terdapat guru, siswa, sarana belajar, dan proses belajar mengajar, sedangkan diluar kelas disebut dengan lingkungan.
c. Bersifat terbuka dengan lingkungan
d. Dapat terdiri dari subsistem
e. Merupakan satu kesatuan yang bulat dari komponennya
f. Saling hubungan dan saling ketergantungan
g. Melakukan kegiatan transformasi atau mengubah input menjadi output
h. Ada mekanisme kontrol
i. Mempunyai kemampuan mengatur diri sendiri
Sistem ekonomi adalah sifat kehidupan ekonomi secara keseluruhan, yang diusulkan atau yang terdapat dalam kenyataan dengan khusus memperhatikan hak milik dan penggunaan dan tingkat pengaturan dan pengendalian pemerintah untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya atau untuk mencapai kemakmuran.
Dalam pengertian sistem ekonomi terdapat unsur satu kesatuan yang menyeluruh dan terorganisir dari potensi-potensi ekonomi yang ada serta nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat untuk mencapai tujuan bersama, dalam hal ini adalah mencapai kemakmuran. Jadi sistem perekonomian ditentukan dan dibangun oleh mata rantai kelembagaan ekonomi yang hubungan kerjanya dalam ruang lingkup suatu negara dalam rangka memecahkan masalah-masalah ekonomi yang bertujuan untuk mencapai cita-cita bangsa. Oleh karena itu sistem perekonomian tiap-tiap negara akan berbeda sesuai dengan pandangan hidup masyarakat negara masing-masing.
Sistem perekonomian di indonesia ada 2 yaitu sistem ekonomi demokrasi (orde baru) dan sistem ekonomi kerakyatan (reformasi)
1. Sistem ekonomi demokrasi
Sistem ekonomi demokrasi adalah sistem perekonomian nasional yang merupakan perwujudan dari falsafah pancasila dan UUD 1945 yang berasaskan kekeluargaan, kegotong royongan dari, oleh, dan untuk rakyat dibawah pimpinan dan kepengawasan pemerintah.
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia banyak tokoh-tokoh negara pada saat itu yang telah merumuskan sistem perekonomian yang paling tepat bagi bangsa indonesia, baik secara individu maupun secara diskusi kelompok. Terlepas dari sejarah yang menceritakan keadaan sesungguhnya yang pernah terjadi di indonesia, maka menurut UUD 1945 sistem perekonomian tercermin pada pasal-pasal 23, 27, 33, dan 34.
Sistem ekonomi demokrasi dipilih karena dianggap memiliki ciri-ciri positif yang diantaranya adalah:
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hayat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
c. Bumi dan air dan kekuasaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
d. Sumber-sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan pemufakatan lembaga perwakilan rakyat, dan pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga perwakilan rakyat.
e. Perekonomian daerah dikembangkan secara serasi dan seimbang antar daerah dalam satu kesatuan perekonomian nasional dengan mendayagunakan potensi dan peran serta daerah secara optimal dalam rangka perwujudan wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
f. Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
g. Hak milik perseorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
h. Potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara dikembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
i. Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Dalam demokrasi ekonomi yang berdasarkan pancasila harus dihindarkan hal-hal sebagai berikut:
a. Sistem free fight liberalism
Sistem free fight liberalism adalah sistem persaingan bebas yang saling menghancurkan dan dapat menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain.
b. Sistem etatisme
Sistem etatisme adalah negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan, mendesak, dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi diluar sektor negara.
c. Sistem monopoli
Sistem monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok yang merugikan masyarakat.

2. Sistem ekonomi kerakyatan
Sistem ekonomi kerakyatan berlaku di Indonesia sejak terjadinya Reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Pemerintah bertekad melaksanakan sistem ekonomi kerakyatan dengan mengeluarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menyatakan bahwa sistem perekonomian Indonesia adalah sistem ekonomi kerakyatan. Pada sistem ekonomi kerakyatan, masyarakat memegang aktif dalam kegiatan ekonomi, sedangkan pemerintah menciptakan iklim yang sehat bagi pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya. Secara ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat local dalam mempertahan kehidupannnya. Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat local dalam mengelola lingkungan dan tanah
mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sisten antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup
masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang ada.
Gagasan ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya alternatif dari para ahli ekonomi Indonesia untuk menjawab kegagalan yang dialami oleh negara negara berkembang termasuk Indonesia dalam menerapkan teori pertumbuhan. Penerapan teori pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan di negara negara kawasan Eropa ternyata telah menimbulkan kenyataan lain di sejumlah bangsa yang berbeda. Salah satu harapan agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan masyarakat paling bawah, ternyata banyak rakyat di lapisan bawah tidak selalu dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan itu. Bahkan di kebanyakan negara negara yang sedang berkembang, kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar. Dari pengalaman ini, akhirnya dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan prioritas, tetapi pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang berintikan pada manusia pelakunya.
Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan berbagai kebijaksanaan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Dari pernyataan tersebut jelas sekali bahwa konsep, ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya untuk lebih mengedepankan masyarakat. Dengan kata lain konsep ekonomi kerakyatan dilakukan sebagai sebuah strategi untuk
membangun kesejahteraan dengan lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat. Menurut Guru Besar, FE UGM ( alm ) Prof. Dr. Mubyarto, sistem Ekonomi kerakyatan adalah system ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh – sungguhpada ekonomi rakyat Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring ( network ) yang menghubung – hubungkan
sentra – sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jejaring pasar domestik diantara sentara dan pelaku usaha masyarakat. Sebagai suatu jejaringan, ekonomi kerakyatan diusahakan untuk siap bersaing dalam era globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga “ lembaga bisnis internasional, Ekonomi kerakyatan dengan sistem kepemilikan koperasi dan publik. Ekomomi kerakyatan sebagai antitesa dari paradigma ekonomi konglomerasi berbasis produksi masal ala Taylorism. Dengan demikian Ekonomi kerakyatan berbasis ekonomi jaringan harus mengadopsi teknologi tinggi sebagai faktor pemberi nilai tambah terbesar dari proses ekonomi itu sendiri. Faktor skala ekonomi dan efisien yang akan menjadi dasar kompetisi bebas menuntut keterlibatan jaringan ekonomi rakyat, yakni berbagai sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat, skala besar kemandirian ekonomi rakyat, skala besar dengan pola pengelolaan yang menganut model siklus terpendek dalam bentuk yang sering disebut dengan pembeli.
Agar sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada tingkat wacana, sejumlah agenda konkret ekonomi kerakyatan harus segera diangkat kepermukaan. Secara garis besar ada lima agenda pokok ekonomi kerakyatan yang harus segera diperjuangkan. Kelima agenda tersebut merupakan inti dari poitik ekonomi kerakyatan dan menjadi titik masuk ( entry point) bagi terselenggarakannya system ekonomi kerakyatan dalam jangka panjang =
Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya; Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme ; persaingan yang berkeadilan ( fair competition) ; Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah.; Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap ; Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan. Yang perlu dicermati peningkatan kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan tidak didasarkan pada paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma fondasi. Artinya, peningkatan kesejahteraan tak lagi bertumpu pada dominasi pemerintah pusat, modal asing dan perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, persaingan yang berkeadilan, usaha pertanian rakyat sera peran koperasi sejati, yang diharapkan mampu berperan sebagai fondasi penguatan ekonomi rakyat. Strategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan dibawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.
Adapun ciri-ciri dari sistem ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut:
a. Bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan yang sehat.
b. Memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial dan kualitas hidup.
c. Mampu mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
d. Menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja.
e. Adanya perlindungan hak-hak konsumen dan perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat indonesia.
B. Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar
Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat. Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?. Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional. Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis. Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.
Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis yang baik menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar. Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar. Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang. Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri. Dalam pemahaman seperti ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional. Bagi saya dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada. Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat utopis ini harus diabaikan. Persepektif yang perlu dianut adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual. Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.
Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik, khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan adanya pengaruh eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta koperasi. Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun ekonomi yang mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat tersendiri. Komitmen pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987). Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah. Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi nasional. Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal yang masih kurang jelas dalam TAP MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme pasar? Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar? Ataukah pemerintah mulai ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru ?. Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang dilematis. Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar. Mau merujuk pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalaman (ibarat membeli kucing dalam karung). Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan dengan keberpihakan habis-habisan pada usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat strategis.
C. Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil (saya tidak membuat penilaian terhadap sistem JPS), adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000). Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action. Aksi membagi-bagi uang secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud. Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material. Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang. Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy. Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat. Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam affirmative action policynya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider. Justru kelompok ini yang enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi mekanisme pasar yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi kerakyatan. Kita semua masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Tapi kita lupa bahwa ada tahapan lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud, yaitu phasing-out process yang harus pula dipersiapkan sejak awal. Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru.
D. Pelaku Utama Sistem Ekonomi Kerakyatan Di Indonesia
Sistem ekonomi kerakyatan sendi utamanya adalah UUD 1945 pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Bentuk usaha yang sesuai dengan ayat (1) adalah koperasi, dan bentuk usaha yang sesuai dengan ayat (2) dan (3) adalah perusahaan negara. Adapun dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi “hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan seorang”. Hal itu berarti perusahaan swasta juga mempunyai andil di dalam sistem perekonomian Indonesia. Dengan demikian terdapat tiga pelaku utama yang menjadi kekuatan sistem perekonomian di Indonesia, yaitu perusahaan negara (pemerintah), perusahaan swasta, dan koperasi. Ketiga pelaku ekonomi tersebut akan menjalankan kegiatan-kegiatan ekonomi dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebuah sistem ekonomi akan berjalan dengan baik jika pelaku-pelakunya dapat saling bekerja sama dengan baik pula dalam mencapai tujuannya. Dengan demikian sikap saling mendukung di antara pelaku ekonomi sangat dibutuhkan dalam rangka mewujudkan ekonomi kerakyatan.
a. Pemerintah (BUMN)
Peran pemerintah sebagai pelaku kegiatan ekonomi berarti pemerintah melakukan kegiatan konsumsi, produksi, dan distribusi.
1. Kegiatan produksi
Pemerintah dalam menjalankan perannya sebagai pelaku ekonomi, mendirikan perusahaan negara atau sering dikenal dengan sebutan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2003, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN dapat berbentuk Perjan (Perusahaan Jawatan), Perum (Perusahaan Umum), dan Persero (Perusahaan Perseroan). Pada sistem ekonomi kerakyatan, BUMN ikut berperan dalam menghasilkan barang atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha hampir di seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, manufaktur, pertambangan, keuangan, pos dan telekomunikasi, transportasi, listrik, industri, dan perdagangan serta konstruksi. BUMN didirikan pemerintah untuk mengelola cabang-cabang produksi dan sumber kekayaan alam yang strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Secara umum, peran BUMN dapat dilihat pada hal-hal berikut ini.
a) Mengelola cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
b) Sebagai pengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara efektif dan efisien.
c) Sebagai alat bagi pemerintah untuk menunjang kebijaksanaan di bidang ekonomi.
d) Menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat sehingga dapat menyerap tenaga kerja.
2. Kegiatan konsumsi
Pemerintah juga berperan sebagai pelaku konsumsi. Pemerintah juga membutuhkan barang dan jasa untuk menjalankan tugasnya. Seperti halnya ketika menjalankan tugasnya dalam rangka melayani masyarakat, yaitu mengadakan pembangunan gedung-gedung sekolah, rumah sakit, atau jalan raya. Tentunya pemerintah akan membutuhkan bahan-bahan bangunan seperti semen, pasir, aspal, dan sebagainya. Semua barang-barang tersebut harus dikonsumsi pemerintah untuk menjalankan tugasnya. Contoh-contoh mengenai kegiatan konsumsi yang dilakukan pemerintah masih banyak, seperti membeli barang-barang untuk administrasi pemerintahan, menggaji pegawai-pegawai pemerintah, dan sebagainya.
3. Kegiatan Distribusi
Selain kegiatan konsumsi dan produksi, pemerintah juga melakukan kegiatan distribusi. Kegiatan distribusi yang dilakukan pemerintah dalam rangka menyalurkan barang-barang yang telah diproduksi oleh perusahaanperusahaan negara kepada masyarakat. Misalnya pemerintah menyalurkan sembilan bahan pokok kepada masyarakat-masyarakat miskin melalui BULOG. Penyaluran sembako kepada masyarakat dimaksudkan untuk membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan distribusi yang dilakukan oleh pemerintah harus lancar. Apabila kegiatan distribusi tidak lancar akan memengaruhi banyak faktor seperti terjadinya kelangkaan barang, harga barang-barang tinggi, dan pemerataan pembangunan kurang berhasil. Oleh karena itu, peran kegiatan distribusi sangat penting.

b. Swasta (BUMS)
BUMS adalah salah satu kekuatan ekonomi di Indonesia. BUMS merupakan badan usaha yang didirikan dan dimiliki oleh pihak swasta. Tujuan BUMS adalah untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. BUMS didirikan dalam rangka ikut mengelola sumber daya alam Indonesia, namun dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah dan UUD 1945. BUMS dalam melakukan perannya mengandalkan kekuatan pemilikan modal. Perkembangan usaha BUMS terus didorong pemerintah dengan berbagai kebijaksanaan. Kebijaksanaan pemerintah ditempuh dengan beberapa pertimbangan berikut ini.
• Menumbuhkan daya kreasi dan partisipasi masyarakat dalam usaha mencapai kemakmuran sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
• Terbatasnya modal yang dimiliki pemerintah untuk menggali dan mengolah sumber daya alam Indonesia sehingga memerlukan kegairahan usaha swasta.
• Memberi kesempatan agar perusahaan-perusahaan swasta dapat memperluas kesempatan kerja.
• Mencukupi kebutuhan akan tenaga ahli dalam menggali dan mengolah sumber daya alam.
• Perusahaan-perusahaan swasta sekarang ini telah memasuki berbagai sektor kehidupan antara lain di bidang perkebunan, pertambangan, industri, tekstil, perakitan kendaraan, dan lain-lain. Perusahaan swasta terdiri atas dua bentuk yaitu perusahaan swasta nasional dan perusahaan asing. Contoh perusahaan swasta nasional antara lain PT Astra Internasional (mengelola industri mobil dan motor), PT Ghobel Dharma Nusantara (mengelola industri alat-alat elektronika), PT Indomobil (mengelola industri mobil), dan sebagainya. Adapun contoh perusahaan asing antara lain PT Freeport Indonesia Company (perusahaan Amerika Serikat yang mengelola pertambangan tembaga di Papua, Irian Jaya), PT Exxon Company (perusahaan Amerika Serikat yang mengelola pengeboran minyak bumi), PT Caltex Indonesia (perusahaan Belanda yang mengelola pertambangan minyak bumi di beberapa tempat di Indonesia), dan sebagainya.
• Perusahaan-perusahaan swasta tersebut sangat memberikan peran penting bagi perekonomian di Indonesia. Peran yang diberikan BUMS dalam perekonomian Indonesia seperti berikut ini.
a) Membantu meningkatkan produksi nasional.
b) Menciptakan kesempatan dan lapangan kerja baru.
c) Membantu pemerintah dalam usaha pemerataan pendapatan.
d) Membantu pemerintah mengurangi pengangguran.
e) Menambah sumber devisa bagi pemerintah.
f) Meningkatkan sumber pendapatan negara melalui pajak.
g) Membantu pemerintah memakmurkan bangsa.

c. Koperasi
Sesuai dengan UU No. 25 Tahun 1992 pasal 4 menyatakan bahwa fungsi dan peran koperasi seperti berikut ini.
a. Membangun dan mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial mereka.
b. Turut serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.
c. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko gurunya.
d. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.





E. Penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan
Jika strategi pembangunan diartikan sebagai suatu pendekatan yang digunakan pemerintah untuk mencapai tujuan utama dari pembangunan yakni tercapainya “kesejahteraan masyarakat secara merata”, maka hal itu harus dikaitkan dengan aspek-aspek bagaimana pemerintah harus bertanggung jawab untuk menjamin agar dapat memenuhi hak-hak dasar warga negaranya, seperti hak kesejahteraan ekonomi (economic rights); hak-hak kesejahteraan sosial-budayanya (social and culture rights), serta hak kesejahteraan sipil dan politiknya (civil and political rights). Yang jelas, dengan penerapan strategi pembangunan ala neoliberal selama ini, pemerintah Indonesia telah banyak mengenyampingkan berbagai tanggung jawabnya untuk memenuhi berbagai hak-hak masyarakatnya baik dalam ukuran kuantitatif maupun kualitatif. Sebagai akibatnya— seperti telah dijelaskan secara sederhana— beberapa tatanan aspek kehidupan bangsa dan negara akhirnya ambruk oleh krisis yang sifatnya kini sudah multidimensi.
Khusus dalam kaitannya dengan tanggung jawab pemerintah untuk menjamin dapat terpenuhinya hak-hak dasar warga negaranya dibidang kesejahteraan ekonomi (economic rights) maka pemerintah harus mampu membuat atau menemukan format sistem perekonomian nasional yang lebih sesuai dengan kondisi riel Indonesia, dengan berupaya secara optimal untuk menciptakan peluang agar pola pengambilan keputusan dari pelaku ekonomi berlangsung secara mandiri atau desentralistik, karena dalam kenyataannya, pelaku-pelaku maupun wilayah ekonomi negara bersifat tidak homogen dalam kaitannya dengan SDM, SDA ataupun kelembagaan-kelembagaan ekonomi yang ada. Dalam hal ini berarti bahwa strategi pembangunan yang disusun harus lebih berpihak kepada kepentingan kegiatan ekonomi rakyat kebanyakan, berdasarkan azas moral ekonomi kekeluargaan atau demokrasi ekonomi, dengan tidak lupa memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup.
Konsep ekonomi yang sejalan dengan itu berkenaan dengan sistem ekonomi kerakyatan (people’s economy). Hingga kini definisi tentang ekonomi kerakyatan masih sulit disepakati. Namun demikian, berdasarkan berbagai sumber bacaan ilmiah maka secara harfiah saya dengan segala keterbatasan berusaha menyimpulkan bahwa ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya. Secara normatif, moral filosofis sistem ekonomi kerakyatan sebenarnya sudah tercantum dalam UUD ‘45, khususnya pasal 33, yang jika disederhakanakan bermakna bahwa perekonomian bangsa disusun berdasarkan demokrasi ekonomi dimana kemakmuran rakyat banyaklah yang lebih diutamakan dibandingkan kemakmuran orang perorangan. Kemudian, karena bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah pokok-pokok atau sumber-sumber kemakmuran rakyat, maka hal tersebut berarti harus dikuasai dan diatur oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebenarnya dalam dua GBHN sebelumnya telah memperjelas rumusan-rumusan normatif tersebut dengan menambahkan beberapa prinsip-prinsip pokok yang penting sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi bangsa, diantaranya menekankan perlunya diterapkan asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara berbagai kepentingan yang berbeda demi mengatasi masalah-masalah yang ada, seperti persoalan ketimpangan, kemiskinan, monopoli usaha maupun ketertinggalan pembangunan masyarakat pedesaan (swadaya masyarakat).
Namun dalam prakteknya harus diakui bahwa tujuan-tujuan normatif tersebut tampaknya belum sungguh-sungguh diupayakan untuk direalisasikan. Seperti tercermin diantaranya dengan belum direalisasikannya UU anti monopoli dan UU persaingan yang sehat secara konsekwen, kurangnya usaha untuk mempromosikan secara besar-besaran produk ekonomi rakyat, kemudian lemahnya pengembangan SDM dan pengembangan teknologi sektor UKM, serta kurangnya dukungan untuk mempermudah akses sektor-sektor ekonomi rakyat kepada sumber-sumber permodalan.
Hal ini berarti bahwa sikap pemerintah masih kurang kondunsif bagi pembangunan sektor-sektor ekonomi rakyat tersebut. Artinya, kepada sektor UKM umumnya, selama ini pemerintah bersikap: dibesarkan tidak, dimatikan pun tidak boleh. Tidak boleh mati sebab keberadaannya dapat digunakan sebagai perisai untuk menutupi borok-borok pembangunan yang tidak berkeadilan. Sedangkan dibesarkan pun tidak, karena kalau UKM besar, segelintir orang tidak ketiban rezeki dari praktek korupsi dan kolusi. Secara khusus, misalnya terhadap sektor UKM pertanian, pemikiran apriorilah yang selalu dikedepankan untuk menyudutkan peranan dan manfaat sektor usaha rakyat pada umumnya. Pertama dengan selalu menganggap bahwa sumbangan sektor tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi relatif sangat kecil dari waktu ke waktu, kemudian nilai tukarnya terhadap hasil industri sangat rendah, atupun dengan alasan sangat tingginya komponen impor (pupuk, obat-obatan ataupun alat-alat pertanian) dalam produk pertanian atau berbagai alasan lainnya. Sehingga pemerintah menyimpulkan bahwa jangan terlalu mengharap banyak dari sektor UKM pertanian!
Tapi apa yang terjadi, sektor ekonomi konglomerat yang dicirikan oleh peranan gurita bisnis besar dengan motor utamanya sektor industri (manufaktur), yang didewa-dewakan sebagai pilar kebanggaan ekonomi bangsa ternyata terhempas seketika oleh badai ekonomi dan kini bahkan telah cendrung menjadi virus yang mewabah dan mematikan sendi-sendi perekonomian bangsa lainnya.
Sedangkan sektor usaha ekonomi rakyat (UKM) yang disepelekan selama ini justru dapat bertahan dari berbagai terpaan badai krisis. Dengan kenyataan ini maka oleh banyak pengamat telah berkeyakinan bahwa dengan pemberdayaan (empowerment) sektor ekonomi rakyat ini maka perekonomian nasional dapat digiring ke luar dari krisis dan bahkan dapat menjadi pilar strategi pembangunan yang tepat dimasa datang.
Kebijaksanaan serupa ini jelas berdasarkan asas atau prinsip yang mendahulukan “keadilan baru kemakmuran, equity with growth approach” jadi bukan “kemakmuran baru keadilan, trickling-down effect approach”. Pada prinsipnya, mendahulukan target keadilan mungkin akan menghasilkan kemakmuran tapi dengan mendahulukan target kemakmuran belum tentu menghasilkan keadilan.
Jika dapat disepakati bahwa kegiatan pertanian adalah bidang yang paling banyak digeluti masyarakat dan khususnya merupakan bidang yang mendominasi usaha ekonomi rakyat, UKM, berarti pembangunan pertanian hendaknya dapat menjadi basis utama kebijaksanaan pembangunan perekonomian bangsa, kini maupun dimasa datang. Pembangunan pertanian ini jelas akan mempunyai banyak manfaat karena mempunyai efek backward maupun forward linkage.
F. Etos Ekonomi
Etos kerja merupakan sebuah hakiki dari sebuah organisasi atau lembaga, dan etos kerja akan menjadi kunci di dalam keberhasilan jalan suatu organisasi atau lembaga, etos kerja akan menjadi acuan oleh pelaksana organisasi di semua lini mulai dari pimpinan, staff sampai kepala pelaksana unit. Dalam kamus Webster, etos didefinisikan sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi sekelompok orang atau sebuah institusi (guiding beliefs of a group or institution). Jadi etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin kerja yang diyakini oleh sekelompok orang sebagai baik dan benar yang mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka. Pandangan cerdas E.F. Schumacher dalam bukunya Small Is Beautiful lebih mempertajam peranan etos kerja ini. Schumacher berkata bahwa pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dari manusia: pendidikannya, organisasinya dan disiplinnya. Tanpa ketiga komponen ini, semua sumberdaya tetap terpendam tak dapat dimanfaatkan. Schumacher menegaskan sumberdaya material atau uang bersifat sekunder. Yang primer ialah sumberdaya manusia.
Namun, meskipun etos kerja merupakan komponen paling primer, ternyata ia tidak selalu membawa sukses signifikan apabila pengetahuan dan ketrampilan organisasional tidak berkembang proporsional. Hal ini dikemukan Mohammad Sobary dalam bukunya kesalehan dan tingkah laku ekonomi (1996). Sobary menyimpulkan bahwa etos kerja yang baik tanpa diimbangi dengan pengetahuan ekonomi (misalnya apa produk yang disukai pasar, apa hambatan usaha yang ada, siapa pesaing-pesaing yang ada) dan keterampilan organo-manajerial (misalnya bagaimana membentuk lembaga-lembaga ekonomi, memobilisasi modal, menjalankan perusahaan secara efisien) yang memadai maka sukses komersial yang mungkin dicapai akan sangat terbatas. Secara khusus, berangkat dari ketiga tesis pendahulunya, Jansen Sinamo menyimpulkan bahwa etos kerja adalah basis keberhasilan di tiga tingkat: personal, organisasional dan sosial. Dalam bukunya, Sinamo membuktikan bahwa pengembangan etos kerja profesional di perusahaan akan memperkuat karakter sang manusia pekerja, mempertinggi kompetensi profesional mereka, dan menghasilkan kinerja-kinerja unggul sebagai buahnya. Dalam bahasa ringkas Jansen Sinamo memproklamirkan bahwa kekuatan sebuah organisasi termasuk suatu bangsa ditentukan oleh etos kerja warganya.
Organisasi demikian ditandai dengan kukuhnya sejumlah infrastruktur organisasi unggul, yakni: visi bisnis yang jauh membentang, misi organisasi yang kuat mengikat, strategi usaha yang padu serasi, nilai-nilai dasar yang koheren holistik, falsasah usaha yang ideal harmonis, perilaku kerja yang konsisten positif, berwatak ramah budaya dan serasi lingkungan serta orientasi kerja pada keunggulan insani berdasarkan the spirit of success yang kemudian tampil sebagai sehimpunan etos kerja profesional. Sebagai pusat pembentukan dan pengembangan etos kerja profesional Jansen Sinamo Work Ethos Training Center adalah perintis pertama dan pionir dalam studi dan pengembangan etos kerja di Indonesia. Dalam konsep yang dikembangkan oleh Jansen Sinamo digagas pentingnya delapan paradigma kerja profesional, yaitu: kerja adalah rahmat, kerja adalah amanah, kerja adalah panggilan, kerja adalah aktualisasi, kerja adalah ibadah, kerja adalah seni, kerja adalah kehormatan, dan kerja adalah pelayanan. Di tingkat perilaku kerja kedelapan paradigma ini akan membuahkan delapan perilaku kerja utama yang sanggup menjadi basis keberhasilan baik di tingkat pribadi, organisasional maupun sosial, yaitu: bekerja tulus, bekerja tuntas, bekerja benar, bekerja keras, bekerja serius, bekerja kreatif, bekerja unggul, dan bekerja sempurna.
Manusia dengan segala petensi yang dimilikinya, merupakan subjek dari maju mundurnya sebuah peradaban. Di samping manusia menjadi subjek, ia bahkan menjadi pemilik sah dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang. Sebagai homo economicus, manusia berusaha memenuhi kebutuhan ekonomi, entah makanan atau harta untuk dirinya sendiri, keturunannya atau untuk orang lain. Dalam kerangka pemenuhan kebutuhan dan membangun peradaban itu, manusia Indonesia dinilai memiliki daya saing Indonesia yang lemah dibanding negara-negara lain. Berdasarkan acuan sembilan pilar yakni:
1) institusi publik baik dari pemerintah maupun swasta
2) infrastruktur,
3) ekonomi makro
4) kondisi pendidikan dan kesehatan.
5) pendidikan tinggi
6) efisiensi pasar
7) penguasaan teknologi
8)jaringan bisnis
9) inovasi
Ketika Republik Indonesia berdiri, salah satu komitmen para bapak bangsa ini adalah bagaimana menggerakkan roda ekonomi rakyat. Indonesia Merdeka seluruhnya itu benar-benar terwujud jika ekonomi rakyat kuat. Itu dapat kita lihat dari tulisan dan pemikiran-pemikiran Bung Hatta yang meletakkan ekonomi kerakyatan sebagai fondasi ekonomi Indonesia. Cita-cita menjadi bangsa merdeka melahirkan kesadaran untuk menjadi bangsa yang mandiri dan berjuang atas kesanggupan sendiri.
Diintroduksinya konsep pembangunan (1969) yang meletakkan akumulasi kapital sebagai determinan penting menyebabkan terputusnya diskursus ekonomi kerakyatan. Pemerintah orde baru kemudian mengeluarkan regulasi-regulasi yang menguntungkan terhadap industrialisasi dan konglomerasi. Hutang luar negeri menjadi keniscayaan untuk mendorong roda perekonomian, akibat masih rendahnya tabungan domestik. Pengelolaan negara semakin jauh dari semangat keswadayaan dan kesanggupan berdiri di atas kaki sendiri.
Industrialisasi dan modernisasi selain menciptakan berbagai kemajuan, juga telah melahirkan proses marginalisasi. Buruh, petani dan nelayan menjadi profesi yang semakin terpinggirkan karena meskipun secara jumlah mereka mayoritas, dalam penciptaan nilai tambah sangat kecil jika dibandingkan sektor industri. Para ekonom meyakini terjadinya transformasi struktural, yakni ketika kontribusi sektor tradisional (agraris) semakin kecil dan digantikan oleh kontribusi sektor industri yang dari waktu ke waktu semakin besar. Kenyataannya transformasi itu bersifat semu. Menurunnya peran sektor agraris, disebabkan karena orang desa tidak memiliki alternatif lain untuk bertahan hidup kecuali menjual lahan sempit mereka dan menjadi buruh di kota. Kelas buruh pun kondisinya tidak menguntungkan. Istilah cheap labour dan unskilled labour menyebabkan posisi mereka hanya dianggap sebagai sekrup dalam roda industrialisasi.
Menyeruaknya kelompok masyarakat rentan yang termarginalisasi akibat kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada mereka, menjadi lahan subur tumbuhnya berbagai gerakan sosial dan LSM dengan beragam corak dan agenda. Dominasi negara orde baru yang begitu kuat menyebabkan sebagian organisasi-organisasi non-pemerintah/ ORNOP (LSM maupun berbagai gerakan sosial berbasis komunitas) menganggap penting untuk mengambil jarak dan menolak berkolaborasi dengan agenda pemerintah / negara. Keberadaan gerakan-gerakan ini dianggap sebagai counter hegemoni terhadap posisi negara yang begitu kuat dan merasuki setiap lini kehidupan masyarakat.
Sementara untuk sebagian gerakan lain, persoalan ketidakadilan struktural tidak cukup hanya dengan melakukan tekanan-tekanan terhadap kekuasaan atau dengan menganggap negara sebagai musuh karena menjadi alat yang eksploitatif. Permasalahan struktural harus dijawab dengan pengorganisiran rakyat secara nyata, mendidik mereka dan memperkuat modal sosial mereka melalui kegiatan usaha bersama agar unit-unit ekonomi rakyat dapat tumbuh. Oleh karena itu membangun keswadayaan dan mata pencaharian rakyat yang berkelanjutan menjadi fokus yang penting.
Pada era reformasi dan demokratisasi, posisi KAMMI yang tidak lagi sekedar menjadi gerakan mahasiswa belaka, namun lebih signifikan lagi, sebagai organisasi masyarakat, menjadi semakin penting untuk membangun kembali modal sosial masyarakat yang hancur akibat krisis multidimensi. Di sisi lain menciutnya peran pemerintah di sektor pelayanan publik berdampak pada turunnya kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Di era keterbukaan dan demokratisasi ini, agaknya kurang tepat untuk mengkotak-kotakkan paradigma gerakan, apakah kesejahteraan atau advokasi. Berbagai inisiatif lokal yang tumbuh membuktikan bahwa kerja-kerja akar rumput mesti memadukan perspektif advokasi dan membangun mata pencaharian masyarakat. Inovasi dan solusi yang unik merupakan gerakan ruh, ketika kemiskinan dan ketidakberdayaan mendera kehidupan masyarakat.
Terminologi kewirausahaan sosial yang kian marak, sebenarnya bukan hal yang baru sama sekali. Tetapi menjadi menarik untuk mendiskusikannya karena sejarah bangsa ini yang berabad-abad didera struktur dan sistem sosial feodal, tidak memiliki watak kewirausahaan yang kuat. Di beberapa tempat, seperti di Jawa masih ada pandangan, orang berdagang atau buka usaha dianggap sebagai pekerjaan rendah. Tetapi ironisnya perilaku rent seeking (memburu rente) kian merajalela. Bagaimana dengan mudah menjadi kaya dengan cara menghisap (memalak) jerih payah orang lain, perilaku yang terus direproduksi dari kalangan atas hingga bawah. Oleh karena itu pekerjaan sebagai produsen kian tidak diminati, inovasi tidak dihargai. Patut kita akui kewirausahaan bangsa kita kian merosot. Kian sulit untuk menyebut produk-produk yang dihasilkan bangsa sendiri. Kita hanya menjadi broker dan konsumen barang-barang produsen dari luar. Tahu dan tempe makanan sehari-hari rakyat jelata, demikian juga kecap. Ironisnya kedelainya diimpor dari Amerika Serikat. Apalagi jika berbicara barang-barang konsumen lainnya seperti sabun, pasta gigi, dll. Kesemuanya dihasilkan oleh perusahaan multinasional (MNC).
Kewirausahaan sosial menjadi menarik kita diskusikan, ketika kita dihadapkan pada angka kemiskinan yang melonjak drastis, menjadi 39,05 juta jiwa atau 17,5% jumlah penduduk (versi BPS dengan biaya hidup Rp 152.847 per orang/bulan). Sementara itu versi Bank Dunia (dengan ukuran US$2 per orang/hari) menyebut angka kemiskinan di Indonesia mencapai 110 juta jiwa atau 53% penduduk. Di sisi lain, tidak adanya daya tarik investasi, industri di Indonesia tengah memasuki usia senja (sunset industry). Kesempatan kerja kian menyempit dan melonjaknya pengangguran terbuka sebesar 11,89 juta jiwa (10,80% dari jumlah angkatan kerja).
Untuk menjawabnya dibutuhkan banyak terobosan, dibutuhkan upaya-upaya untuk memadukan berbagai inisiatif. Oleh karena itu persoalan kita bukan bagaimana menyusun definisi ataupun kategori kewirausahaan sosial, namun lebih pada bagaimana menemukan spirit daripadanya. Bagaimana agar kinerja wirausaha itu semakin memiliki dampak sosial yang besar. Karena baik Muh. Yunus maupun tokoh-tokoh wirausaha sosial tak akan mengingkari, bahwa kesuksesan mereka lahir dari pergumulan yang demikian intens dengan kemiskinan.
Rasanya kita diingatkan kembali oleh kata-kata Bung Hatta, bahwa hakekat ekonomi rakyat adalah pentingnya mendidik semangat cinta kepada rakyat atas dasar usaha bersama. Dengan demikian kerja-kerja keras yang dilakukan oleh rakyat adalah manifestasi kemartabatannya sebagai manusia. Wallahu’alam bishshawab.
“Orang-orang yang tangguh adalah mereka yang menjadi besar karena terpaan ujian, terpaan ujian yang datang tiada henti. Tetap berjuang dengan berbagai keterbatasan, kuat dalam kesendirian, tegar di tengah kekecewaan, beramal optimal dalam ketidakterkenalan.” Never Give Up!!!
Strategi pembangunan seharusnya dilihat sebagai proses multidimensi yang mencakup bukan hanya aspek pembangunan ekonomi, tapi juga mencakup diantaranya aspek perubahan dalam strukur sosial, politik, perilaku maupun struktur kelembagaan kemasyarakatan. Menurut beberapa pengamat, krisis yang melibas berbagai tatanan kehidupan bangsa Indonesia selama ini salah satu sebab utamanya karena kekeliruan pemerintah dalam menerapkan strategi pembangunan, yang terlalu menitikberatkan pada pembangunan ekonomi dengan target pertumbuhannya yang tinggi sebagai (panglima pembangunan).
Menyadari kenyataan pahit yang terjadi, segenap upaya telah dilakukan baik oleh pemerintahan reformasi maupun beberapa kelompok masyarakat yang merasa bertanggung jawab untuk keselamatan dan kejayaan bangsa. Dalam perspektif tersebut, tulisan ini dibuat untuk memberikan beberapa pokok pikiran alternatif tentang paradigma pembangunan yang sesuai dengan kondisi riel bangsa Indonesia, dan mungkin dapat atau harus dilaksanakan. Salah satu paradigma pembangunan yang dimaksud mengacu pada pendekatan teoritik normatif yang dikenal sebagai pendekatan paradigma pembangunan mandiri, yang selanjutnya seringkali dijabarkan dalam makna yang lebih luas sebagai “Paradigma Pembangunan Kemandirian Lokal”.
Khusus dalam perspektif ekonomi, paradigma pembangunan serupa ini akan dapat terealisasi hanya jika pemerintah mampu menerapkan dan memberdayakan sistem ekonomi kerakyatan, yakni sistem ekonomi dimana pelaku ekonominya mengambil keputusan-keputusan ekonomi berdasarkan pola pengambilan keputusan yang desentralistik dan mandiri sesuai kondisi SDA, SDM dan kelembagaannya. Dengan terealisasikannya kebijaksanaan serupa itu dapat diartikan bahwa pemerintah langsung atau tidak langsung telah melaksanakan tanggung jawab atau kewajibannya dalam menjamin terpenuhinya hak-hak kesejahteraan ekonomi masyarakatnya.
Reorientasi Paradigma Pembangunan Nasional Menuju Paradigma Pembangunan Kemandirian Lokal
Selama kurang lebih 32 tahun, pemerintahan ORBA telah menerapkan strategi pembangunan berasas politik pembangunan neoliberal “ortodox capitalism”. Ciri utamanya adalah sentralisasi kebijaksanaan pengelolaan ekonomi dan keuangan negara serta target stabilisasi politik yang bersifat repressif oleh pemerintah pusat. Strategi pembangunan serupa ini terutama dimaksudkan untuk merealisasikan target pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan harapan selanjutnya akan tercipta peluang kerja yang luas dan merata akibat adanya mekanisme trickle-down effect. Bagi pemerintah ORBA, rupanya hal ini menjadi prioritas kebijaksanaan karena dianggap bahwa dengan pencapaian target tersebut merupakan indikator yang baik bagi prestasi kebijaksanaan pembangunan pemerintah yang diterapkan.
Meskipun tidak dapat disangkal bahwa strategi pembangunan serupa itu telah memberikan hasil, diantaranya telah tercipta transformasi struktural dalam beberapa aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti ditunjukkan oleh angka-angka pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang cukup menakjubkan, penurunan angka jumlah orang miskin dan lain sebagainya, namun hasil tersebut hanya bersifat semu. Karena hasil yang diperoleh bukan diciptakan dan dinikmati oleh kegiatan ekonomi yang sesuai dengan sumber daya masyarakat Indonesia (SDA, SDM dan kelembagaannya), tetapi hanya diciptakan dan dinikmati oleh kegiatan ekonomi sekelompok masyarakat tertentu yang disebut “konglomerat”.
Keadaan tersebut jelas tidak memungkinkan terciptanya penguatan fundamen yang kuat dan mengakar pada berbagai aspek kehidupan berbangsa. Akibatnya, seperti terlihat saat perekonomian tersentuh oleh angin krisis moneter saja, capaian-capaian yang dibanggakan sudah kurang bermakna lagi bahkan cenderung memporak-porandakan berbagai tatanan kehidupan bangsa dan negara.
Menyadari kenyataan tersebut maka pemerintahan reformasi begitu bersemangat untuk berupaya menyesuaikan dan menyusun format paradigma pembangunan yang sesuai dan terpercaya guna dapat memulihkan kondisi kehidupan bangsa dewasa ini yang sekaligus dimaksudkan dapat menjadi pedoman (blue print) kebijaksanaan pembangunan menyongsong Indonesia baru di masa datang. Berbagai pemikiran para ahli telah dikemukakan dan disampaikan. Satu diantaranya sedang kita upayakan mengkajinya dalam forum sederhana kajian KAMMI yang insya Allah menjadi rahim yang akan melahirkan gagasan-gagasan revolusioner bagi bangsa ini. Dengan berbasis pada premis bahwa “kesejahteraan masyarakat hanya dapat dicapai dan ditingkatkan serta diselenggarakan secara berkesinambungan oleh masyarakat itu sendiri dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya, termasuk kelembagaan yang dimilikinya”.
Jelas tersirat bahwa menurut konsep paradigma pembangunan tersebut, aspek kemanusian diutamakan dalam proses pembangunan. Dalam hal ini manusia diperlakukan sekaligus sebagai subyek dan obyek pembangunan. Dengan prinsip tersebut berarti mereka dapat dan harus berpartisipasi secara aktif untuk meningkatkan produktifitasnya dalam proses pembangunan mulai sejak tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pada tahap pengawasannya. Dan jika hal tersebut terealisir berarti pemenuhan hak-hak kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat dengan sendirinya dapat tercapai, misalnya hak dalam aspek kesejahteraan ekonomi mereka (economic rights).
Jika mengacu pada teori manajemen publik dari Osborne & Gaebler (1993), tentang pemikiran pemberdayaan rakyat banyak (masyarakat), tampaknya konsep Paradigma Pembangunan Kemandirian Lokal berjalan sinergis. Teori tersebut menekankan pentingnya proyek-proyek pembangunan yang dibangun di atas tiga prinsip: “community oriented”, yaitu prinsip pembangunan yang berorientasi pemenuhan kebutuhan nyata masyarakat setempat ; kemudian “community based“, yaitu prinsip pembangunan yang didasarkan pada keadaan sumber daya masyarakat bersangkutan; serta “community managed”, yaitu prinsip pengelolaan pembangunan oleh masyarakat bersangkutan.
Selain itu, Peradigma Pembangunan Kemandirian Lokal juga sejalan dengan konsep pembangunan UNDP (1998) yang menekankan pada pendekatan pembangunan manusia (human development approach) dengan empat pilar pembangunannya: pemberdayaan (empower); keadilan (equity) ; produktivitas (productivty) dan kesinambungan (sustainable). Aspek pemberdayaan diartikan sebagai upaya untuk mendinamisir kelompok masyarakat yang mempunyai kapasitas produktif tapi kurang kesempatan untuk akses pada lingkungan hidup dan usaha yang bersifat modern dengan tanpa harus menjadi korban transpalasi nilai dan kelembagaan asing.
Kemudian, aspek pemerataan mengandung makna tersedianya kesempatan yang merata, berimbang dan adil dalam pemanfaatan sumber daya mereka guna peningkatan taraf hidupnya. Sedangkan, aspek produktivitas diartikan sebagai upaya peningkatan peretumbuhan perekonomian yang harus ramah terhadap tenaga kerja (employment friendly growth). Akhirnya tentang aspek kesinambungan, mengandung makna pentingnya kegiatan pembangunan diarahkan pada penciptaan kondisi kegiatan yang berkembang sesuai dengan nilai-nilai lokal dan kaidah-kaidah pembangunan yang berwawasan lingkungan untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan demi kesejahteraan generasi mendatang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar